Sarjinah: “Apa Yang Harus Ku Katakan kepada mu”

Yayasan Nawakamal Mitra Semesta
6 min readFeb 11, 2022

Oleh: Emilianus Elip — https://www.nawakamal.org

Sarjinah (bukan nama sebenarnya), ditemukan 3 tahun lalu (2020) di sebuah desa di bagian Barat Provinsi Yogyakarta. Dia menggelandang di desanya, pakaiannya kumal dan compang-camping bahkan hampir telanjang. Dia hampir tidak pernah mandi. Keluarganya malu karena mendapat stigma negatif dari masyarakat. Orang-orang menyebut Sarjinah anak haram. Oleh karena malu terpaksa orang tuanya “memasung” Sarjinah, di rumah kecil dari papan dan bambu dibelakang rumah orang tuanya. Tidak ada toilet, tidak ada air. Hanya tempat tidur kayu. Dan dikunci dari luar. Orang tuanya miskin. Harta dan tanah yang mereka miliki, hampir ludes dijual untuk berburu “dukun” kemana-mana. Mereka tidak tahu harus bagaimana saat itu.

Saya dan tim Nawakamal Mitra Semesta diberitahu oleh staf Puskesmas tentang kasus Sarjinah. Dan tim kami membuat janji untuk berkunjung, tetapi kami meminta didampingi oleh staf Puskesmas dan beberapa kader kesehatan desa, untuk bersama-sama berkunjung ke rumah Sarjinah. Mengapa tim harus ditemani atau bersama-sama dengan staf Puskesmas dan kader desa? Karena ini merupakan tahap awal sekali tim Nawakamal akan memberikan contoh tentang dasar-dasar penyadaran, dasar komunikasi dengan Orang Dengan Disabilitas Psikologis (ODDP), serta berdiskusi bagaimana melakukan home visit secara rutin ke Sarjinah, dll. Tentu saja, pada tahap selanjutnya akan dilakukan pelatihan-pelatihan berseri untuk para kader bagaimana melayani dan menangani orang seperti Sarjinah yang menderita skizofrenia.

Gubuk tempat Sarjinah di pasung. Tidak ada toilet. Tidak ada air. Gelap seperti kandang.

Terus terang….berlinangan air mata saya saat pertama kali melihat Sarjinah di gubuknya. Saya ingat anak perempuan saya yang tumbuh sehat, lulus dari universitas yang cukup bagus di Yogyakarta, cerdas, dan sekarang menjadi jurnalis di ibu kota Jakarta. Sementara di tempat ini, di desa ini, saya melihat anak gadis seperti Sarjinah. Di era modern dan milenial, dimana di Amerika dan Eropa orang laki dan perempuan merayakan kebebasan dan menikmati segala bentuk modernitas, di gubuk ini saya bertemu dengan seorang gadis Sarjinah seperti (maaf) “bukan manusia”. Apalagi Sarjinah masih muda (kira-kira seusia anak gadis saya), berkulit kuning, cukup cantik untuk ukuran orang desa, dan berkulit kuning. Dia hanya bersekolah di sekolah dasar, itupun tidak tamat. Sarjinah menderita apa yang disebut skizofrenia.

Tim yang dibantu staf RSJ Grhasia-Yogyakarta meminta izin kepada orang tua Sarjinah dan masyarakat sekitar untuk bisa bertemu dengan Sarjinah. Dengan keterampilan terapi komunikasi yang hebat, tim berhasil berkomunikasi dengan Sarjinah. Tim ini telah berpengalaman selama 15–20 tahun dalam merawat penderita gangguan jiwa baik di rumah sakit maupun di luar rumah sakit (masyarakat). Tapi mereka tidak bisa sering mengunjungi masyarakat karena prosedur dan birokrasi di rumah sakit pemerintah yang relatif lebih rumit.

Sarjinah berhasil dibawa keluar. Tim mulai memandikannya hingga bersih dan berganti pakaian yang lebih baik. Kemudian Sarjinah diberi makan, sambil terus mencoba berkomunikasi dengan Sarjinah. Tim meminta agar gubuk Sarjinah dibersihkan, kemudian tim mengembalikan Sarjinah ke gubuknya. Tidak banyak yang dikatakan oleh Sarjinah kecuali kata-kata seperti takut, lelah, penuh pikiran….kadang senyum-senyum sendiri….

Tim Nawakamal membawa Sarjinah keluar, berkomunikasi dengannya, memandikannya. Kader desa dan staf Puskesmas menyaksikan dengan sungguh-sungguh.

Di rumah orang tua Sarjinah, tim kemudian berdialog dengan orang tua Sarjinah sambil meminum teh yang disajikan. Staf Puskesmas dan beberapa kader desa, bahkan tetangga Sarjinah juga ikut duduk bersama. Tahap pertama ini tim menunjukkan kepada kader desa, tetangga, dan petugas Puskesmas cara memperlakukan penyandang disabilitas psikologis secara sangat dasar. Tidak perlu terlalu berat, tidak perlu banyak bicara, berbuat dan meminta bantuan, tidak perlu menggurui, dll. Semua ini akan dilanjutkan dengan pelatihan khusus untuk kader desa menjadi Kader Kesehatan Jiwa, dan orang tua atau pengasuh penyandang disabilitas psikologis, dan satf Puskesmas.

Orang tua Sarjinah menangis. Sangat berterima kasih kepada tim yang telah meluangkan waktu untuk mengunjungi rumahnya, melihat Sarjinah, memandikannya, bahkan memberinya makan. Saya melihat satu atau dua kader menyeka air mata mereka. Tim sadar sejak awal bahwa tidak boleh menyalahkan siapa pun. Kita hanya perlu mendengarkan atau memberikan nasehat ringan terlebih dahulu. Sebagian besar harta dan tanah milik orang tua Sarjinah dijual untuk biaya berburu banyak dukun di berbagai daerah yang dianggap bisa menyembuhkan. Tapi semua gagal…Sarjinah tetap sama. Mengapa mereka menjual banyak kekayaan untuk Sarjinah? Karena orang tuanya menanggung malu, mereka tidak tahan dengan stigma negatif dari masyarakat. Jika Sarjinah bisa sembuh normal, pasti stigma negatif itu akan hilang. Orang tua Sarjinah putus asa dengan nasib Sarjinah. Bisakah dia sembuh? Bisakah dia bekerja seperti gadis lain? Akankah dia bisa memiliki suami, mengurus rumah tangganya, dan memberi cucu…

Mengapa orang tua Sarjinah memasungnya? Sarjinah sering keluar rumah dan mengembara di beberapa desa. Tubuhnya kotor, pakaiannya compang-camping, hampir telanjang. Para tetangga mendesak orang tuanya agar Sarjinah di pasung saja, agar tidak menambah rasa malu keluarga dan masyarakat desa. Orang tuanya jarang memandikannya karena tidak tahu cara berkomunikasi dengan orang Skizofrenia. Sarjinah sempat mengamuk ketika hendak dimandikan. Sarjinah sering hanya diam, atau berteriak histeris, tidak mau menjawab pertanyaan, dan bahkan jarang mau makan. Maklum, sudah 3 tahun dia tidak menjalani pengobatan rehabilitasi dan tidak minum obat yang direkomendasikan untuk penderita skizofrenia. Para tetangga juga diam, paling-paling hanya memberikan sepiring makanan jika sepertinya Sarjinah belum makan.

Saat ditanya mengapa kader desa tidak bergerak? Kader menjawab dengan tegas bahwa kami bingung bagaimana memperlakukan atau membantu Sarjinah, apa yang sebenarnya terjadi padanya, mengapa dia melakukan itu, bagaimana merawatnya….. Para kader mengatakan, kami tidak pernah menerima sosialisasi atau pelatihan apa pun tentang orang dengan gangguan jiwa. Program lain yang sudah masuk ke desa kami sudah dilakukan pelatihan seperti program stunting, perbaikan gizi, kesehatan ibu hamil, kesehatan menyusui, kelompok ekonomi, kebersihan lingkungan, dll. Staf pemerintah desa juga bingung bagaimana memperlakukan Sarjinah dan keluarganya, apa yang bisa dibantu, kata kader. Jika nanti tim akan mengadakan pelatihan penanganan dasar orang dengan gangguan jiwa, apakah kader siap? “Kami siap, terima kasih,” jawab para kader di rumah Sarjinah.

Orang tua Sarjinah. hartanya ludes untuk berburu dukun kemana-mana….tanpa hasil!!!

Dalam diskusi kecil di rumah Sarjinah itu, Tim tidak menyalahkan siapa pun. Kader tidak salah, pemerintah desa tidak salah, Puskesmas tidak salah, pemerintah kabupaten tidak salah. Itu semua karena kita tidak sadar dan tidak tahu siapa dan mengapa penderita gangguan jiwa itu. Masalah orang dengan gangguan disabilitas psikologis sama sekali tidak dipertimbangkan sebagai program penting. Coba lihat pemerintah, NGO Internasional, LSM lokal, CSR (Corporate Social Responsibility), dll masih teramat sangat kurang memperhatikan ODDP. Mungkin dianggap issu tidak menarik. Bukan isu global. Bukan isu yang mengguncang dunia.

Kasus perawatan orang dengan gangguan jiwa tidak bisa kita serahkan sepenuhnya kepada kader desa untuk merawatnya. Gangguan jiwa memerlukan kunjungan rutin dari tenaga profesional seperti psikolog atau ahli jiwa yang berpengalaman dengan gangguan jiwa, baik dari pemerintah maupun non pemerintah. ODDP apalagi jenis skizofrenia memerlukan pemberian obat yang tepat, dan dapat dikatakan bahwa mereka akan bergantung pada obat tersebut selama sisa hidup mereka. Jika Anda tidak minum obat secara disiplin, itu akan kambuh lagi. Jika terjadi kambuh ulang. Maka pengobatan tahap selanjutnya memerlukan periode lebih lama lagi. Masyarakat khususnya di desa kurang memahami masalah seperti ini. Mereka kira gangguan jiwa seperti orang yang sedang sakit flu, demam berdarah, atau malaria…kalau diberi obat, istirahat yang cukup, makan makanan bergizi, mereka akan sehat kembali.

Di Indonesia, menurut riset kesehatan Kementerian Kesehatan tahun 2018, terdapat 1 kasus orang dengan gangguan jiwa dari setiap 1000 penduduk. Total ODDP di wilayah Provinsi Yogyakarta, tempat tinggal Sarjinah, rata-rata penduduk satu desa adalah 3.000 hingga 5.000 orang. Jadi di setiap desa ada kurang lebih 3 sampai 5 penyandang disabilitas. Jumlahnya memang sedikit, namun ada kecenderungan meningkat di era kehidupan modern dan milenial ini. Di Indonesia hanya punya 48 Rumah Sakit Jiwa (32 milik pemerintah dan 16 swasta) dan itu hanya ada di tingkat provinsi. Dari 1.678 RSU hanya ada 2% yang punya unit pelayanan kesehatan jiwa. Dari sekitar 9.000 Puskesmas yang ada di Indonesia hanya 1.235 Puskesmas yang memiliki Unit Pelayanan Kesehatan Jiwa (https://intelresos.kemensos.go.id/). Jumlah ODDP di Indonesia mencapai 19 juta orang menurut riset tersebut.

Rasanya waktu berkunjung ke rumah Sarjinah sudah cukup, dan Tim pamit untuk pulang. Di dalam mobil saat pulang dari rumah Sarjinah, semua teman terdiam. Tentu saja saya bingung karena biasanya kami selalu berdiskusi ringan saat pulang usai melakukan home visite, memberikan sosialisasi atau pelatihan. Namun saya sebagai orang yang memiliki pengalaman cukup lama dalam pemberdayaan dan pengembangan masyarakat, saya diam saja. Setiap orang membutuhkan waktu untuk refleksi pribadi tentang apa yang baru saja dilakukan. Teman-teman saya di dalam mobil, yang rata-rata lebih muda dari saya, mungkin secara pribadi merenungkan nasib Sarjinah. Antara percaya dan tidak percaya. Dan itu sesuatu yang baik untuk para pegiat pemberdayaan di masyarakat. Kami baru memulai diskusi ringan ketika kami berhenti untuk makan siang di sebuah warung.

Saya teringat Seorang Romo Katolik, Pater Avent Saur namanya, mengingatkan kepada saya “Anda tidak akan pernah bisa melayani atau memberdayakan orang dengan gangguan jiwa dan keluarganya hanya dengan pengetahuan dan keterampilan. Anda membutuhkan semangat, kepercayaan, dan cinta dari lubuk hati Anda”. Dan saya percaya itu! [###]

Note: Yayasan Nawakamal Mitra Semesta: nawakamalfoundation@gmail.com

--

--

Yayasan Nawakamal Mitra Semesta

A NGO dedicated for empowering people with mental disorder and their family on reducing stigma, advocation, community awareness and capacity building, etc.